Pada hari ini tanggal 1 Mei 2017 google doodle menampilkan lukisan sketsa Apandi seorang pelukis yang dikenal sebagai Maestro Seni Lukis Indonesia.
Patut membuat kita bangga karena hari ini bertepatan dengan Hari Buruh Sedunia. akan tetapi google doodle tetap menapilkan sosok Apandi.
Untuk yang ingin lebih mengetahui sosok Apandi berikut literatur yang saya dapat dari wikipedia
Affandi Koesoema (Cirebon, Jawa Barat, 1907 - 23 Mei 1990)
adalah seorang pelukis yang dikenal sebagai Maestro Seni Lukis Indonesia,
mungkin pelukis Indonesia yang paling terkenal di dunia internasional, berkat
gaya ekspresionisnya dan romantisme yang khas. Pada tahun 1950-an ia banyak
mengadakan pameran tunggal di India, Inggris, Eropa, dan Amerika Serikat.
Pelukis yang produktif, Affandi telah melukis lebih dari dua ribu lukisan.
Biografi
Affandi dilahirkan di Cirebon pada tahun 1907, putra dari R.
Koesoema, seorang mantri ukur di pabrik gula di Ciledug, Cirebon. Dari segi
pendidikan, ia termasuk seorang yang memiliki pendidikan formal yang cukup
tinggi. Bagi orang-orang segenerasinya, memperoleh pendidikan HIS, MULO, dan
selanjutnya tamat dari AMS, termasuk pendidikan yang hanya diperoleh oleh
segelintir anak negeri.
Namun, bakat seni lukisnya yang sangat kental mengalahkan
disiplin ilmu lain dalam kehidupannya, dan memang telah menjadikan namanya
tenar sama dengan tokoh atau pemuka bidang lainnya.
Pada umur 26 tahun, pada tahun 1933, Affandi menikah dengan
Maryati, gadis kelahiran Bogor. Affandi dan Maryati dikaruniai seorang putri
yang nantinya akan mewarisi bakat ayahnya sebagai pelukis, yaitu Kartika
Affandi.
Sebelum mulai melukis, Affandi pernah menjadi guru dan
pernah juga bekerja sebagai tukang sobek karcis dan pembuat gambar reklame
bioskop di salah satu gedung bioskop di Bandung. Pekerjaan ini tidak lama
digeluti karena Affandi lebih tertarik pada bidang seni lukis.
Sekitar tahun 30-an, Affandi bergabung dalam kelompok Lima
Bandung, yaitu kelompok lima pelukis Bandung. Mereka itu adalah Hendra Gunawan,
Barli, Sudarso, dan Wahdi serta Affandi yang dipercaya menjabat sebagai
pimpinan kelompok. Kelompok ini memiliki andil yang cukup besar dalam
perkembangan seni rupa di Indonesia. Kelompok ini berbeda dengan Persatuan Ahli
Gambar Indonesia (Persagi) pada tahun 1938, melainkan sebuah kelompok belajar
bersama dan kerja sama saling membantu sesama pelukis.
Pada tahun 1943, Affandi mengadakan pameran tunggal
pertamanya di Gedung Poetera Djakarta yang saat itu sedang berlangsung
pendudukan tentara Jepang di Indonesia. Empat Serangkai—yang terdiri dari Ir.
Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Kyai Haji Mas Mansyur—memimpin
Seksi Kebudayaan Poetera (Poesat Tenaga Rakyat) untuk ikut ambil bagian. Dalam
Seksi Kebudayaan Poetera ini Affandi bertindak sebagai tenaga pelaksana dan S.
Soedjojono sebagai penanggung jawab, yang langsung mengadakan hubungan dengan
Bung Karno.
Ketika republik ini diproklamasikan 1945, banyak pelukis
ambil bagian. Gerbong-gerbong kereta dan tembok-tembok ditulisi antara lain
"Merdeka atau mati!". Kata-kata itu diambil dari penutup pidato Bung
Karno, Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945. Saat itulah, Affandi mendapat tugas
membuat poster. Poster yang merupakan ide Soekarno itu menggambarkan seseorang
yang dirantai tetapi rantainya sudah putus. Yang dijadikan model adalah pelukis
Dullah. Kata-kata yang dituliskan di poster itu ("Bung, ayo bung")
merupakan usulan dari penyair Chairil Anwar. Sekelompok pelukis siang-malam
memperbanyaknya dan dikirim ke daerah-daerah.
Bakat melukis yang menonjol pada diri Affandi pernah
menorehkan cerita menarik dalam kehidupannya. Suatu saat, dia pernah mendapat
beasiswa untuk kuliah melukis di Santiniketan, India, suatu akademi yang
didirikan oleh Rabindranath Tagore. Ketika telah tiba di India, dia ditolak
dengan alasan bahwa dia dipandang sudah tidak memerlukan pendidikan melukis
lagi. Akhirnya biaya beasiswa yang telah diterimanya digunakan untuk mengadakan
pameran keliling negeri India.
Sepulang dari India, Eropa, pada tahun lima puluhan, Affandi
dicalonkan oleh PKI untuk mewakili orang-orang tak berpartai dalam pemilihan
Konstituante. Dan terpilihlah dia, seperti Prof. Ir. Saloekoe Poerbodiningrat
dsb, untuk mewakili orang-orang tak berpartai. Dalam sidang konstituante,
menurut Basuki Resobowo yang teman pelukis juga, biasanya katanya Affandi cuma
diam, kadang-kadang tidur. Tapi ketika sidang komisi, Affandi angkat bicara.
Dia masuk komisi Perikemanusiaan (mungkin sekarang HAM) yang dipimpin Wikana,
teman dekat Affandi juga sejak sebelum revolusi.
Topik yang diangkat Affandi adalah tentang perikebinatangan,
bukan perikemanusiaan dan dianggap sebagai lelucon pada waktu itu. Affandi
merupakan seorang pelukis rendah hati yang masih dekat dengan flora, fauna, dan
lingkungan walau hidup di era teknologi. Ketika Affandi mempersoalkan
'Perikebinatangan' tahun 1955, kesadaran masyarakat terhadap lingkungan hidup
masih sangat rendah.
Affandi juga termasuk pimpinan pusat Lekra (Lembaga
Kebudayaan Rakyat), organisasi kebudayaan terbesar yang dibubarkan oleh rezim
Suharto. Dia bagian seni rupa Lembaga Seni Rupa) bersama Basuki Resobowo, Henk
Ngantung, dan sebagainya.
Pada tahun enampuluhan, gerakan anti imperialis AS sedang
mengagresi Vietnam cukup gencar. Juga anti kebudayaan AS yang disebut sebagai
'kebudayaan imperialis'. Film-film Amerika, diboikot di negeri ini. Waktu itu
Affandi mendapat undangan untuk pameran di gedung USIS Jakarta. Dan Affandi
pun, pameran di sana.
Ketika sekelompok pelukis Lekra berkumpul, ada yang
mempersoalkan. Mengapa Affandi yang pimpinan Lekra kok pameran di tempat
perwakilan agresor itu. Menanggapi persoalan ini, ada yang nyeletuk: "Pak
Affandi memang pimpinan Lekra, tetapi dia tak bisa membedakan antara Lekra
dengan Lepra!" kata teman itu dengan kalem. Keruan saja semua tertawa.
Meski sudah melanglangbuana ke berbagai negara, Affandi
dikenal sebagai sosok yang sederhana dan suka merendah. Pelukis yang
kesukaannya makan nasi dengan tempe bakar ini mempunyai idola yang terbilang
tak lazim. Orang-orang lain bila memilih wayang untuk idola, biasanya memilih
yang bagus, ganteng, gagah, bijak, seperti; Arjuna, Gatutkaca, Bima, Krisna.
Namun, Affandi memilih Sokrasana yang wajahnya jelek namun
sangat sakti. Tokoh wayang itu menurutnya merupakan perwakilan dari dirinya
yang jauh dari wajah yang tampan. Meskipun begitu, Departemen Pariwisata Pos
dan Telekomunikasi (Deparpostel) mengabadikan wajahnya dengan menerbitkan
prangko baru seri tokoh seni/artis Indonesia. Menurut Helfy Dirix (cucu tertua
Affandi) gambar yang digunakan untuk perangko itu adalah lukisan self-portrait
Affandi tahun 1974, saat Affandi masih begitu getol dan produktif melukis di
museum sekaligus kediamannya di tepi Kali Gajahwong Yogyakarta.
Affandi dan melukis
Potret diri Affandi diabadikan dalam perangko Indonesia seri
Seniman Indonesia tahun 1997.
Semasa hidupnya, ia telah menghasilkan lebih dari 2.000
karya lukis. Karya-karyanya yang dipamerkan ke berbagai negara di dunia, baik
di Asia, Eropa, Amerika maupun Australia selalu memukau pecinta seni lukis
dunia. Pelukis yang meraih gelar Doktor Honoris Causa dari University of
Singapore tahun 1974 ini dalam mengerjakan lukisannya, lebih sering menumpahkan
langsung cairan cat dari tube-nya kemudian menyapu cat itu dengan jari-jarinya,
bermain dan mengolah warna untuk mengekspresikan apa yang ia lihat dan rasakan
tentang sesuatu.
Dalam perjalanannya berkarya, pemegang gelar Doctor Honoris
Causa dari University of Singapore tahun 1974, ini dikenal sebagai seorang
pelukis yang menganut aliran ekspresionisme atau abstrak. Sehingga seringkali
lukisannya sangat sulit dimengerti oleh orang lain terutama oleh orang yang
awam tentang dunia seni lukis jika tanpa penjelasannya. Namun bagi pecinta
lukisan hal demikianlah yang menambah daya tarikny
Kesederhanaan cara berpikirnya terlihat saat suatu kali,
Affandi merasa bingung sendiri ketika kritisi Barat menanyakan konsep dan teori
lukisannya. Oleh para kritisi Barat, lukisan Affandi dianggap memberikan corak
baru aliran ekspresionisme. Tapi ketika itu justru Affandi balik bertanya,
Aliran apa itu?.
Bahkan hingga saat tuanya, Affandi membutakan diri dengan
teori-teori. Bahkan ia dikenal sebagai pelukis yang tidak suka membaca.
Baginya, huruf-huruf yang kecil dan renik dianggapnya momok besar.
Bahkan, dalam keseharian, ia sering mengatakan bahwa dirinya
adalah pelukis kerbau, julukan yang diakunya karena dia merasa sebagai pelukis
bodoh. Mungkin karena kerbau adalah binatang yang dianggap dungu dan bodoh.
Sikap sang maestro yang tidak gemar berteori dan lebih suka bekerja secara
nyata ini dibuktikan dengan kesungguhan dirinya menjalankan profesi sebagai
pelukis yang tidak cuma musiman pameran. Bahkan terhadap bidang yang
dipilihnya, dia tidak overacting.
Misalnya jawaban Affandi setiap kali ditanya kenapa dia
melukis. Dengan enteng, dia menjawab, Saya melukis karena saya tidak bisa mengarang,
saya tidak pandai omong. Bahasa yang saya gunakan adalah bahasa lukisan. Bagi
Affandi, melukis adalah bekerja. Dia melukis seperti orang lapar. Sampai pada
kesan elitis soal sebutan pelukis, dia hanya ingin disebut sebagai tukang
gambar.
Lebih jauh ia berdalih bahwa dirinya tidak cukup punya
kepribadian besar untuk disebut seniman, dan ia tidak meletakkan kesenian di
atas kepentingan keluarga. Kalau anak saya sakit, saya pun akan berhenti
melukis, ucapnya.
Sampai ajal menjemputnya pada Mei 1990, ia tetap menggeluti
profesi sebagai pelukis. Kegiatan yang telah menjadi bagian dari hidupnya. Ia
dimakamkan tidak jauh dari museum yang didirikannya itu.
Museum Affandi
Museum yang diresmikan oleh Fuad Hassan, Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan ketika itu dalam sejarahnya telah pernah dikunjungi oleh Mantan
Presiden Soeharto dan Mantan Perdana Menteri Malaysia Dr. Mahathir Mohammad
pada Juni 1988 kala keduanya masih berkuasa. Museum ini didirikan tahun 1973 di
atas tanah yang menjadi tempat tinggalnya.
Saat ini, terdapat sekitar 1.000-an lebih lukisan di Museum
Affandi, dan 300-an di antaranya adalah karya Affandi. Lukisan-lukisan Affandi
yang dipajang di galeri I adalah karya restropektif yang punya nilai
kesejarahan mulai dari awal kariernya hingga selesai, sehingga tidak dijual.
Sedangkan galeri II adalah lukisan teman-teman Affandi, baik
yang masih hidup maupun yang sudah meninggal seperti Basuki Abdullah, Popo
Iskandar, Hendra, Rusli, Fajar Sidik, dan lain-lain. Adapun galeri III berisi
lukisan-lukisan keluarga Affandi.
Di dalam galeri III yang selesai dibangun tahun 1997, saat
ini terpajang lukisan-lukisan terbaru Kartika Affandi yang dibuat pada tahun
1999. Lukisan itu antara lain "Apa yang Harus Kuperbuat" (Januari
99), "Apa Salahku? Mengapa ini Harus Terjadi" (Februari 99),
"Tidak Adil" (Juni 99), "Kembali Pada Realita Kehidupan,
Semuanya Kuserahkan KepadaNya" (Juli 99), dan lain-lain. Ada pula lukisan
Maryati, Rukmini Yusuf, serta Juki Affandi.
Affandi di mata dunia
Affandi memang hanyalah salah satu pelukis besar Indonesia
bersama pelukis besar lainnya seperti Raden Saleh, Basuki Abdullah dan
lain-lain. Namun karena berbagai kelebihan dan keistimewaan karya-karyanya,
para pengagumnya sampai menganugerahinya berbagai sebutan dan julukan
membanggakan antara lain seperti julukan Pelukis Ekspressionis Baru Indonesia
bahkan julukan Maestro. Adalah Koran International Herald Tribune yang menjulukinya
sebagai Pelukis Ekspressionis Baru Indonesia, sementara di Florence, Italia dia
telah diberi gelar Grand Maestro.
Berbagai penghargaan dan hadiah bagaikan membanjiri
perjalanan hidup dari pria yang hampir seluruh hidupnya tercurah pada dunia
seni lukis ini. Di antaranya, pada tahun 1977 ia mendapat Hadiah Perdamaian
dari International Dag Hammershjoeld. Bahkan Komite Pusat Diplomatic Academy of
Peace PAX MUNDI di Castelo San Marzano, Florence, Italia pun mengangkatnya
menjadi anggota Akademi Hak-Hak Asasi Manusia.
Dari dalam negeri sendiri, tidak kalah banyak penghargaan
yang telah diterimanya, di antaranya, penghargaan "Bintang Jasa
Utama" yang dianugerahkan Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1978.
Dan sejak 1986 ia juga diangkat menjadi Anggota Dewan Penyantun ISI (Institut
Seni Indonesia) di Yogyakarta. Bahkan seorang Penyair Angkatan 45 sebesar
Chairil Anwar pun pernah menghadiahkannya sebuah sajak yang khusus untuknya
yang berjudul "Kepada Pelukis Affandi".
Untuk mendekatkan dan memperkenalkan karya-karyanya kepada
para pecinta seni lukis, Affandi sering mengadakan pameran di berbagai tempat.
Di negara India, dia telah mengadakan pameran keliling ke berbagai kota.
Demikian juga di berbagai negara di Eropa, Amerika serta Australia. Di Eropa,
ia telah mengadakan pameran antara lain di London, Amsterdam, Brussels, Paris,
dan Roma. Begitu juga di negara-negara benua Amerika seperti di Brasil,
Venezia, San Paulo, dan Amerika Serikat. Hal demikian jugalah yang membuat
namanya dikenal di berbagai belahan dunia. Bahkan kurator terkenal asal
Magelang, Oei Hong Djien, pernah memburu lukisan Affandi sampai ke Rio de
Janeiro.
Pameran
Museum of Modern Art (Rio de Janeiro, Brasil, 1966)
East-West Center (Honolulu, 1988)
Festival of Indonesia (AS, 1990-1992)
Gate Foundation (Amsterdam, Belanda, 1993)
Singapore Art Museum (1994)
Centre for Strategic and International Studies (Jakarta,
1996)
Indonesia-Japan Friendship Festival (Morioka, Tokyo, 1997)
ASEAN Masterworks (Selangor, Kuala Lumpur, Malaysia,
1997-1998)
Pameran keliling di berbagai kota di India.
Pameran di Eropa al: London, Amsterdam, Brussels, Paris,
Roma
Pameran di benua Amerika al: Brasilia, Venezia, São Paulo,
Amerika Serikat
Pameran di Australia
Affandi Alive di Museum Lippo Plaza Jogja
Buku tentang Affandi
Buku kenang-kenangan tentang Affandi, Prix International Dag
Hammarskjöld, 1976, 189 halaman. Ditulis dalam empat bahasa, yaitu Bahasa
Inggris, Belanda, Perancis, dan Indonesia.
Nugraha Sumaatmadja, buku tentang Affandi, Penerbitan
Yayasan Kanisius, 1975
Ajip Rosidi, Zaini, Sudarmadji, Affandi 70 Tahun, Dewan
Kesenian Jakarta, 1978. Diterbitkan dalam rangka memperingati ulang tahun
ketujuh puluh.
Raka Sumichan dan Umar Kayam, buku tentang Affandi, Yayasan
Bina Lestari Budaya Jakarta, 1987, 222 halaman. Diterbitkan dalam rangka
memperingati 80 tahun Affandi, dalam dua bahasa, yakni Bahasa Inggris dan
Indonesia.
0 Comments:
Post a Comment